Kamis, 30 Agustus 2012

Tentang MaKaTa


MaKaTa adalah sinonim dari Majelis Kajian Tafsir “al-Qur’an “ yang diselenggarakan oleh Pengurus Majelis Wakil Cabang ( MWC ) Nahdlatul Ulama ( NU ) Kecamatan Magetan, yang juga merupakan kelompok kajian lanjutan dari Majelis Pengajian Ahad Pagi “ An-Nahdliyyah “

Selain mempunyai makna panjangan kata tersebut, secara khusus “ MaKaTa” juga menyerupai kata “ Kota Suci Makkah “ dalam cara baca lughawi, yang secara filosofis berorientasi pada kesiapan diri untuk menuju kota tersebut dalam rangka menunaikan rukun Islam yang ke-lima, amin……

Risalah ini  merupakan ringkasan kajian per-bab, atau dalam istilah tafsir disebut dengan istilah “ Tafsir Maudlu’i” . sebagai acuan dan referensi ringkas bagi para jamaah kajian untuk mengingat ulang materi-materi yang telah dijabarkan.

Semoga Rislah ini bermanfaat dan mendatangkan maslahah… fid -diini wad -dun yaw al aakhiroh………. Amin

Tafsir Surah al-Fatihah ayat 5


Edisi N0: 3-Desember 2009 M/Dzul Hijjah 1430 H

Surah : al-Fatihah ayat : 5

 Terjemahannya :  Hanya kepada-Mu ( ya Allah ) kami menyembah dan hanya kepada-Mu  ( pula ) kami mohon pertolongan.
Mukaddimah :
Ayat merupakan bagian pertengahan antara Allah dan manusia, yakni : dalam hal kewajiban dan hak yang terbagi secara seimbang, dengan kata lain adalah : " Kewajiban manusia adalah menyembahAllah,  dan haknya adalah mendapatkan/ menerima pertolongan dari-Nya. Dan  Kewajiban Allah adalah memberi pertolongan manusia dan hak-Nya adalah disembah ".

Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, penyebutan Surah al-Fatihah sebagai Sab-'ul Matsaani adalah 7 ayat yang mengandung dua bagian secara seimbang antara Allah sebagai Dzat Yang di-Maha-kan dan manusia sebagai hamba. Dan dalam ayat  1 s.d 4 adalah bagian atau hak  Allah yang terangkum dalam (1) penyebutan Asma-Nya sebagai pancaran tawakkal, (2) Pemusatan segala pujian sebagai apresiasi syukur, ( 3 ) Pengagungan sifat Rahman dan Rahim serta Pemilik hari qiyamat sebagai pondasi sabar.

Dalam hal kewajiban sebenarnya merupakan hak bagi pihak lain, demikian juga halnya dengan hak, maka tentulah menjadi kewajiban peihak lain, secara seimbang dan saling terkait.

Bahasan :
Dalam memahami ayat ini, perlu penegasan kembali tentang hakekat posisi manusia sebagai hamba/abdi atau pihak yang memiliki ketergantungan luar biasa terhadap " Tuan/ Bendara"nya. Bahkan dalam pengertian sang lebih luas lagi, sesungguhnya manusia " hanyalah merupakan wayang, yang apabila tidak dimainkan oleh sang dalang, maka tak berfungsi apa-apa" karena sebagaimana firman Allah dalam  Q.S. ash-Shoffaat: 96, yang artinya : Dan Allah-lah Yang telah menciptakan kamu dan ( menciptakan ) apa-apa yang kamu kerjakan.

Dalam hal ini, ruh sebagai anugerah Allah yang tiada terbanding nilainya dan tak dapat tergantikan dengan yang lain, menjadi karunia satu-satunya penentu, apakah manusia itu " hidup" atau dia telah " mati ", sebab dengan dicabutnya " nikmat ruh " itu dari manusia, maka ia hanyalah sebujur bangkai yang tidak bermakna dan bernilai sama-sekali, oleh sebab itu ketergantungan mutlak manusia kepada Allah sebagai Tuan dan Tuhannya, memberikan karunia lain lagi, selain " ruh" yaitu kesempatan untuk mendapatkan pertolongan darinya secara bebas dan tanpa terikat sama sekali dengan hal-hal selain Allah. Namun pertolongan itu merupakan imbal balik dan keniscayaan dari sebuah perilaku awal, yakni " menyembah-Nya " setulus dan sepenuh hati ( ikhlash ).
Yang dimaksud dengan bebas dab tanpa terikat adalah bahwa kewajiban manusia untuk menyembah Allah tidak terbatasi oleh persayaratan dan tidak menimbulkan efek tertentu bagi Allah, sehingga meskipun manusia secara bersama-sama tidak melakukan "penyembahan" sebagai aktifitas wajibnya saat hidup di dunia, tidak lantas  ber-efek pada perubahan status "ke-Ilahi-an" Allah, dan pula tidak disyaratkan dalam penyembahan dengan syarat-syarat tertentu, seperti suku atau bangsa tertentu, tapi seluruh manusia mempunyai kewajiban " menyembah" Allah tersebut secara mutlak. Sebagaimana firman Allah dalam : Q.S. Adz-Dzariyaat : 56, yang artinya : Dan tiadalah Aku ( Allah ) ciptakan jin manusia kecuali untuk menyembah-Ku ( mengabdi pada-Ku).
Meskipun mareka ( manusia ) ada yang tidak menyebah Allah karena mempunyai keyakinan kepada selain-Nya, dan mereka tetap mendapatkan pertolongan, hal itu bukan berarti merusak dan mengotori makna dari ayat ini, namun semata hanya " bentuk tanggungjawab " dan "belas kasihan" Allah kepada mereka selaku Dzat Yang Maha Mencipta, dan ini mempunyai makna yang sangat berbeda denga pertolongan bagi mereka manusia yang menghamba dan mengabdi kepada Allah.

Karena bentuk dan sifat pertolongan-Nya yang juga berbeda. Yakni bahwa kalau terhadap manusia yang tidak mengabdi dan menyembahnya, pertolongan itu hanya bersifat fana selama di dunia sebagai aplikasi sifat " Rahman"nya Allah sebagaimana yang telah dibahas pada edisi sebelumnya, namun pertolongan terhadap manusia yang mengabdi kepada Allah adalah bersifat abadi dan tersambung, yakni dunia dan akherat, padahal telah banyak diterangkan , bahwa hidup yang sesungguhnya bagi manusia adalah " kehidupan di alam akherat, karena keabadiannya. Sedangkan hidup di dunia hanyalah jembatan perantara bagi kehidupan akherat.

Karena " menyembah " merupakan kewajiban utama manusia, maka dalam mewujudkannyapun mencakup segala aspek kehidupan, dan di sinilah sebenarnya makna inti dari " Tauhid " atau mengesakan Allah dalam segala hal, lahir dan batin.

Secara syar'i, bentuk ibadah digolongkan menjadi 2 yang paling utama, yakni :
1.      Mahdloh : yakni ibadah yang telah ditetapkan bentuk,jenis dan tata pelaksanaannya dalam paket yang dicontohkan oleh Rasulullah saw, seperti : shalat, zakat, puasa ramadhan dan haji dll.
2.      Ghoiru Mahdloh : yakni jenis ibadah yang tidak terikat, namun orientasinya dikhususkan untuk " mencari ridlo Allah " dan diaplikasikan dalam segala aspek kehidupan, sejak bangun tidur hingga tidur kembali, bahkan dalam " tidur" sekalipun, sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasul saw, dalam istilah " ihsan " yang jenis terbesarnya ada 99, dan paling besar dan utama urutannya adalah " kalimah thoyyibah : Laa ilaaha illalloh, dan yang terbawah, teringan dan terkecil adalah " ifadatul adzaa 'anith-thuruqaat ( menyingkirkan penghalang jalan ).
Dengan demikian, sebenarnya manusia tidak dapat lepas dalam kehidupannya dari kerangka ibadah atau pengabdian ini. Namun dalam banyak realita justru perkara yang terlihat sepele ini menjadi permasalahan tersendiri, sebab sebuah aktifitas kehidupan itu disebut "ibadah" manakala orientasinya adalah " lillah " hanya untuk Allah, padahal kenyataannya sungguh sulit  untuk Mewujudkannya.

Sehingga sebuah aktifitas kehidupan itu dapat dikategorikan sebagai ibadah atau bernilai pengabdian adalah apabila diniatkan dan diorientasikan pelaksanaannya dalam menggapai " ridlo Allah ", yang tentunya harus didasari dengan rasa ikhlas dengan menyebut asma-Nya ( dengan ucapan basmalah ) serta penuh rasa syukur dan sabar )

Intisari :

Ayat 5 surah al-Fatihah ini juga mengandung makna kausalitas ( sebab akibat ) dalam hal kewajiban dan hak, artinya bahwa apabila manusia sebagai makhluk ciptaan Allah secara ikhlas menjalani kehidupannya di dunia ini dalam koridor " kewajiban beribadah " kepada Allah, tentulah segala permintaan pertolongannya akan dikabulkan ( dalam arti : kabul lahir batin dan berdimensi dunia akherat ), namun bila tidak dalam koridor itu, Allah akan tetap memberi pertolongan, namun hanya sebatas bentuk " rahman"nya Allah di dunia saja dan tidak berdimensi lahir batin maupun dunia akherat, mungkin justru akan memperdalam jurang ancaman siksa neraka dengan " sepintas " pertolongan yang diberikan kepadanya tersebut.

Intisari dari ayat 5 ini menegaskan kembali bahwa meski " ibadah " menjadi kewajiban manusia yang harus ditunaikan dan diemban, namun ia juga menjadi sebab datangnya pertolongan Allah yang dapat menyebabkan keselamatannya di dunia dan akherat dan dapat mendatangkan kebahagiaan dunia dan akherat, lahir dan batin.

Lalu jenis " pertolongan " macam apakah yang dapat menghantar kesuksesan hakiki hidup manusia tersebut, tentu akan dipaparkan pada kajian tafsir berikutnya.
Semoga Allah senantiasa menjadi tujuan kita dalam beraktifitas dalam kehidupan yang fana di dunia ini, dan semoga kita diselamatkan dari godaan " ketersesatan " dari beramal untuk selain-Nya yang mengakibatkan rusaknya pola hidup yang harus kita jalani.

Rabu, 18 Januari 2012

Tartil oleh Yusron Kholid

  
ini adalah koleksi tartil saya..kalo mau dengerin tinggal klick icon-nya ajja...semoga bermanfaat...Amiin

Minggu, 15 Januari 2012

Al-Fatihah ( 4 ) selesai


Hanya kepadaMu (Allah) kami mengabdi (menyembah) dan hanya kepada-Mu pula kami minta pertolongan.
Adh-Dhahaak dari Ibn Abbas berkata,
"Iyyaka na'budu bermaksud Kepada-Mu kami menyembah mengesakan dan takut dan berharap, wahai Tuhan tidak ada lain-Mu". Dan Iyyaka nasta'in bermaksud "Kami minta tolohg kepada-Mu untuk menjalankan taat dan untuk mencapai semua hajat kepentinganku"
Qatadah berkata,
Dalam Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in, Allah menyuruh supaya tulus ikhlas dalam melakukan ibadat kepada Allah dan supaya benar-benar mengharap bantuan pertolongan Allah dalam segala urusan."
Pimpinlah kami ke jalan yang lurus.
Shirath dapat dibaca dengan shad, siin dan zai dan tidak berubah arti.
Shiraathal mustaqiim, jalan yang lurus yang jelas tidak berliku-liku. Shiraatal mustaqiim, ialah mengikuti tuntunan Allah dan Rasulullah saw. Juga berarti Kitab Allah, sebagaimana riwayat dari Ali r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Asshiratul mustaqiim kitabullah'. Juga berarti Islam, sebagai agama Allah yang tidak akan diterima lainnya.
An Nawas bin Sam'aan r.a. mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Allah mengadakan contoh perumpamaan suatu jalan (shirrat) yang lurus, sedang di kanan-kiri jalan ada dinding dan di pagar ada pintu-pintu terbuka, pada tiap pintu ada tabir yang menutupi pintu, dan di muka jalan ada suara berseru, "Hai manusia masuklah ke jalan ini, dan jangan berbelok dan di atas jalanan ada seruan, maka bila ada orang yang akan membuka pintu dipenngatkan, 'Celaka anda, jangan membuka, sungguh jika anda membuka pasti akan masuk'. Shiraat itu ialah Islam, dan pagar itu batas-batas hukum Allah dan pintu yang terbuka ialah yang diharamkan Allah- sedang seruan di muka jalan itu ialah kitab Allah, dn seruan di atas shiraf ialah seruan nasihat dalam hati tiap orang muslim.
(HR. Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasa'i).
Tujuan ayat ini minta taufik hidayat semoga tetap mengikuti apa yang diridai Allah, sebab siapa yang mendapat taufik hidayat untuk apa yang diridai Allah maka ia termasuk golongan mereka yang mendapa nikmat dari Allah daripada Nabi shiddiqin, syuhada dan shalihin. Dan siapa yang mendapat taufik hidayat sedemikian berarti ia benar-benar Islam berpegang pada kitab Allah dan sunnaturrasul, menjalankan semua perintah dan meninggalkan semua larangan syariat agama.
Jika ditanya, "Mengapakah seorang mukmin harus minta hidayat, padahal ia bersalat itu berarti hidayat?"
Jawabnya, "Seorang memerlukan hidayat itu pada setiap saat dan dalam segala hal keadaan kepada Allah supaya tetap terus terpimpin oleh hidayat Tuhan itu, karena itulah Allah menunjukkan jalan kepadanya supaya minta kepada Allah untuk mendapat hidayat taufik dan pimpinan-Nya. Maka seorang yang bahagia hanyalah orang yang selalu mendapat taufik hidayat Allah.
Sebagaimana firman Allah dalam ayat 136, surat an-Nisa:
"Hal orang beriman percayalah kepada Allah dan Rasulullah" (an-Nisa 136).
Dalam ayat ini orang mukmin disuruh beriman, yang maksudnya supaya terus tetap imannya dan melakukan semua perintah dan menjauhi larangan, jangan berhenti di tengah jalan, yakni istiqamah hingga mati.

Jalan orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Tuhan atas mereka, dan bukan jalan yang dimurkai Tuhan atas mereka dan bukan jalan orang-orang yang sesat.
Inilah maksud jalan yang lurus itu, yaitu yang dahulu sudah ditempuh oleh orang-orang yang mendapat rida dan nikmat dari Allah ialah mereka yang tersebut dalam ayat 69 an-Nisa:
Dan siapa yang taat kepada Allah dan Rasulullah maka mereka akan bersama orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dari para Nabi, shiddiqin, syuhada dan shalihin, dan merekalah sebaik-baik kawan. (an-Nisa 69).
Dilanjutkan oleh Allah dengan ayat:
"Dzalikal fadh lu minallahi wakafa billahi aliimaa" (Itulah kurnia Allah dan cukup Allah yang Maha Mengetahui.)
Ibnu Abbas berkata, "Jalan orang-orang yang diberi nikmat oleh Tuhan kepada mereka sehingga dapat menjalankan taat ibadat serta istiqamah seperti Malaikat, Nabi-nabi, Shiddiqin, syuhada dan shalihin.
Bukan jalan orang-orang dimurkai atas mereka, yaitu mereka yang telah mengetahui kebenaran hak tetapi tidak melaksanakannya seperti orang-orang Yahudi, mereka telah mengetahui kitab Allah, tetapi tidak melaksanakannya, juga bukan jalan orang-orang yang sesat karena mereka tidak mengetahui.
Ady bin Hatim r.a. bertanya kepada Nabi saw., "Siapakah yang dimurkai Allah itu?" Jawab Nabi saw., "Alyahud (Yahudi)". "Dan siapakah yang sesat itu?" Jawab Nabi saw. "An-Nashara (Kristen/Nasrani)".
Orang Yahudi disebut dalam ayat "Man la'anabullahu wa ghadhiba alaihi"(Orang yang dikutuk (dilaknat) oleh Allah dan dimurkai, sehingga dijadikan di antara mereka kera dan babi.)
Orang Nashara disebut dalam ayat "Qad dhallu min qablu, wa adhallu katsiera wa dhallu an sawaa issabiil" (Mereka yangtelah sesat sejak dahulu, dan menyesatkan orang banyak, dan tersesat dari jalan yang benar.)
Surat ini hanya tujuh ayat, mengandung pujian dan syukur kepada Allah dengan menyebut nama Allah dan sifat-sifat-Nya yang mulia, lalu menyebut hal Hari Kemudian, pembalasan dan tuntutan, kemudian menganjurkan kepada hamba supaya meminta kepada Allah dan merendah diri pada Allah, serta lepas bebas dari daya kekuatan diri menuju kepada tulus ikhlas dalam melakukan ibadat dan tauhid pada Allah, kemudian menganjurkan kepada hamba untuk selalu minta hidayat taufik dan pimpinan Allah untuk dapat mengikuti shirat mustaqiim supaya dapat tergolong dari golongan hamba-hamba Allah yang telah mendapat nikmat dari golongan Nabi, Siddiqin, Syuhada dan Shalihin. Juga mengandung anjuran supaya berlaku baik mengerjakan amal saleh jangan sampai tergolong orang yang dimurkai atau tersesat dari jalan Allah.

Mujahadah


Jama'ah MaKaTa dan MuKaFi sedang melaksanakan mujahadah

Selasa, 10 Januari 2012

Surah al-Fatihah ( 3 )


Edisi N0: 2-Desember 2009 M/Dzul Hijjah 1430 H

Surah : al-Baqarah ayat : 4

 Terjemahannya : Dan orang-orang yang beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu ( al_qur'an ) dan kepada apa yang diturunkan kepada nabi sebelum kamu, dan mereka beriman kepada hari akhir.

Mukaddimah :
Sebagaimana yang disepakati para Jumhur Ulama, bahwa rukun iman itu ada enam (6) perkara.. dan pada ayat 4 Surah al_Baqarah ini disampaikan iman kepada Kitab Allah, dan iman kepada Hari Akhir.

Setelah dikemukakan di dalam ayat sebelumnya, diantara tanda orang yang beriman adalah : iman kepada yang ghaib, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, maka pada ayat ini Allah  menjelaskan sifat orang mukmin yang lain, yakni : mempercayai dan meyakini bahwa Allah telah memberikan ( menurunkan ) kitab atau mush-haf kepada setiap nabi dan rasul sesuai dengan zaman dan umatnya......, seperti : Kitab Zabur kepada nabi Daud as., Taurat kepada nabi Musa as., Injil kepada nabi Isa as. Serta shohiifah ( lembaran-lembaran ) kepada nabi-nabi yang lain.

Bahasan : (A )  Iman kepada Kitab Allah
Percaya kepada kitab Allah yang diturunkan kepada nabi dan rasul sebelum kanjeng nabi Muhammad adalah meyakini bahwa kebenaran ajaran tauhid sejak nabi Adam as. Selalu dipandu dengan kitab maupun shuhuf, sehingga manusia tidak akan mungkin menciptakan kebenaran itu sendiri, atau mengaku sebuah kebenaran mutlak atas inisiatifnya sendiri. Nabi dan rasul saja sebagai manusia pilihan yang diutus menyampaikan risalah kepada umat, masih dipandu dengan kitab maupun shuhuf.
Disamping itu mengimani maksudnya bahwa nilai-nilai tauhid yang disampikan Allah dalam kitab-kitab dan shuhuf terdahulu saling berkesinambungan hingga puncaknya adalah ajaran yang termaktub di dalam al-Qur'anul Karim....

Namun nilai kebenaran yang terkandung dalam syari'at ( laku lampah ) pada umat terdahulu tentu bervariasi dan ber-beda beda sesuai dengan kondisi unat tersebut..... dengan kata lain, bahwa syariat umat nabi Adam berbeda dengan umat nabi Idris, Nuh, Hud, Sholeh dan seterusnya;. Dan karena al-Qur'an merupakan mukjizat terakhir yang diturunkan kepada nabi dan rasul terakhir, maka nilai dan syari'atnyapun bersifat merangkum nilai-nilai sebelumnya dan bersifat komplek serta universal ( sangat umum ). Dan semua gerak hidup manusia telah di atur ( secara benar ) dalam al-Qur'an tersebut, sehingga saat ditanya oleh sahabat tentang akhlaq Rasulullah sehingga beliau mendapat gelar " La 'alaa khuluqin 'adhiim " sebagai sosok berakhlak mulia secara paripurna, menjawab bahwa pola laku Rasul adalah " Inna khuluqohul Qur-'aan "                  ( sesungguhnya akhlaq beliau adalah ala al-Qur'an ), sehingga meyakini dan mengimani kitab Allah hikmahnya adalah :

1.      Merasa bahwa seluruh rangkaian hidup, sejak zaman nabi Adam as, hingga kapanpun, manusia tidak bisa lepas dari aturan yang ditentukan oleh Allah, sehingga mencari dan berusaha keluar dari aturan dalam bentuk apapun hanya akan sia-sia saja.
Berpandangan positif, bahwa aturan Allah melalui kitab-kitab dan shuhuf pada dasarnya demi kebahagiaan manusia dan demi kemaslahatannya, bukan untuk mengekang, membatasi atau sejenisnya. Justru dengan aturan yang tertuang dalam kitab-kitab, khususnya al-Qur'an kehidupan manusia menjadi lebih harmonis antara dirinya dan makhluk di sekelilingnya, termasuk manusia, flora dan fauna serta makhluk lain. Hasan al-Banna menyatakan " Ni'mal 'aiysy tahta dhilaalil qur'an " ( hidup yang paling enak adalah dibawah naungan al-quran )

(B ) Beriman kepada hari akhir / Kiyamat
Di dalam ayat 4 Surah al-Baqarah ini juga dibahas tentang rukun iman ke 5, yakni : beriman kepada hari akhir/kiyamat, yakni hari berakhirnya kehidupan dunia yang bersifat fana’, dan keadaan saat datangnya kiyamat itu telah sering dijelaskan di dalam al-qur’an sedemikian dahsyatnya.
Adapun mengenai saat datangnya hari kiyamat tersebut, hanya Allah-lah yang mengetahu, dan tak satu makhluk-pun yang bisa tau tentang waktu dan saat terjadinya, sehingga tidak perlu dipaksakan untuk tahu, meski dalam beberapa hadits Nabi saw, banyak dibahas juga tentang tanda-tanda datangnya hari kiyamat tersebut, namun kepastiannya tetap menjadi rahasia dan hak prerogatif Allah saja.

Yang lebih penting untuk dibahas dalam hal akan datangnya hari kiyamat adalah hikmah dalam meyakininya, sehingga orang yang yakin akan datangnya hari akhir/ kiyamat harus mampu mengambil hikmah dari keyakinannya itu, yakni antara lain :
1.      Mejadi pendorong semangat untuk memperbanyak bekal kelak hidup di alam akhirat, karena telah menjadi keyakinan orang mukmin pada bagian bahasan terdahulu, bahwa akan ada kehidupan kekal nanti di akherat, dan untuk keperluan hidup di alam tersebut diperlukan bekal yang tidak sedikit, karena perbandingan perhitungan waktunya yang begitu mencolok, yakni 1 hari di akherat=1000 tahun di dunia. Dan bekal di alam akherat hanya dapat dicapai dengan (a) kualitas iman dan takwa yang prima dengan mengamalkan secara istiqomah kewajiban ibadah yang telah ditentukan di dalam syari’at baik yang mahdloh ( ibadah yang telah dicontohkan paketnya oleh Nabi saw, seperti sholat, zakat, puasa, haji dll.) (b) dengan amal sholeh/ kebaikan yang bersifat dan berorientasi untuk kemaslahat makhluk ( manusia, tumbuhan dan hewan ) dengan berperilaku terpuji dan tulus ikhlas.
Mempersempit hal-hal yang berakibat buruk di kehidupan akherat, yakni dengan menahan diri utnuk tidak berbuat sesuatu yang dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan pahala, dengan menjauhi larangan-larangan Allah, baik yang termasuk kategori kecil maupun yang besar, hal ini perlu karena manusia seringkali terpedaya, bahwa dosa kecil itu tidak mempengaruhi amal, padahal dosa-dosa kecil yang sering dilakukan dan diulang, akhirnya akan menjadi besar, dan mungkin juga berakibat tidak mendapat ampunan dari Allah swt.
2.      Meningkatkan kehati-hatian dalam hidup, agar dapat secara istiqomah taat kepada perintah Allah, dan agar dapat menjauhi sekuat tenaga larangan- laranganNya, sehingga tercipta sifat suka muhasabah ( introspeksi) dan sering berfikir panjang tentang akibat sebuah perbuatan yang dilakukan.

Demikian hikmah beriman kepada Kitab Allah ( Al-Qur’an ) dan beriman kepada hari akhir, sebagai bahasan dari ayat 4 Surah al-Baqarah, semoga menjadi pemahaman yang penuh dengan barokah. Amin
Walloohu a’lamu bish-showaab

Surah al-Fatihah ( 2 )


Surah : al-Fatihah ayat : 2

 Terjemahannya : Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.

Mukaddimah :
Pada ayat sebelumnya, yakni ” basmalah ” telah dijelaskan bahwa ia merupakan awal terbukanya gerbang menuju ” al_qur’anul Karim” sehingga prasarat agar perjalanan selanjutnya memedomani al_qur’an ini sebagai petunjuk, penjelasan petunjuk dan pembeda antara yang haq dan yang bathil, adalah memagari hati dengan keimanan yang kokoh, dan badan jasad dengan syari’at Islam yang istiqomah, agar berbuah perilaku sholeh dalam konteks ihsan / tasawwuf, yakni dengan bertawakkal hanya kepada Allah dalam urusan hati, jasad dan perilaku.
Hal ini sangat penting dan fundamental, sebab jika prasarat ini tidak dipenuhi, maka pengembaraan ke dalam al-Qur’an akan hanya menemukan ” ketersesatan’ karena telah tercampur dengan nafsu manusiawi yang jahat dan kotor.

Kalau al_fatihah merupakan pusat/metropole/dan induk al-Qur’anul Karim, maka hikmah yang dapat dipetik adalah : kita harus melandasi langkah hidup kita dengan ” tawakkal ” kepada Allah semata, sebagaimana intisari doa ketika hendak berpergian..........
Bahasan :
(2) Al-Hamdu artinya puji syukur dari segala puja dan puji..... dan puji sukur ini menurut ulama lebih umum dari terima kasih ( asy-syukru ), karena orang berterima kasih hanya saat menerima pemberiaan yang jumlah dan nilainya tidak begitu besar, namun memuji ( al_hamdu ) merupakan penyifatan sebagai akibat dari watak dan sifat yang ” suka memberi” tanpa pamrih dan tanpa pilih kasih, sehingga peujian tersebut hanya layak dihaturkan kepada Allah, karena tidak satu makhlukpun yang memiliki sifat demikian. Betapa kita saat memberi masih memiliki keinginan atau tendensi-tendensi tertentu, meski tidak terucap, namun dalam relung hati senantiasa ada harapan tersebut,
                Dan dalam mewujudakan ” pujian ” hanya untuk Allah itu dapat dilakukan dalam setiap nafas kita, karena memang nikmat Allah tidak pernah terputus dari nafas kita, bahkan ” nafas ” yang kita keluarkan dan masukkan setiap saat adalah pemberian Allah secara Cuma-Cuma, maka sudah selayaknya apabila ” puji syukur ” itu kita haturkan kepada Allah.

Kalau dalam ” basmalah ” hikmah yang diambil adalah ” tawakkal ”, maka di dalam muatan ” hamdalah ” ini adalah ” rasa sukur”, sehingga kalau hidup ini selalu dilandasi tawakkal, lalu syukur, maka akan terasa nikmat dan memebrikan dampak positif bagi kehidupan kita, khususnya terkait pengabdian dan penghambaan kepada Allah.

Dan alasan yang sangat mendasar tentang kenapa manusia harus hanya memuji Allah, karena Allah adalah Robbul ’alamiin Tuhan yang memiliki dan memelihara seluruh alam yang akan dan sudah dilalui oleh manusia.

Kata ” Rabb ” adalah menganduk makna ganda : memiliki ( menguasai ) dan memelihara ( kelangsungan dan kemanfaatannya ), seperti ungkapan    ” robbul-bait ” para mufassir memaknainya sebagai ” pemilik rumah yang mutlak kepemilikannya, dan pemelihara rumah itu agar tetap utuh, indah dan bermanfaat, selain juga agar tidak rusak, roboh dan tidak bermanfaat.
Sehingga Rabbul ’aalamiin adalah Dzat yang memiliki secara mutlak seluruh alam, mulai alam ruh, alam rahim, alam dunia, alam kubur ( barzah ) alam akhirat yang terdiri dari : hisab, mizan dan shiroth ( Perhitungan, timbangan dan menyeberang jembatan shirath ).

( 3 ) ayat ini berbunyi : ” Ar-rahmaan Ar-rahiim ”  yang artinya sebagaimana telah dibahas pada edisi yang lalu ( perdana ).

Namun dari semua penjelasan itu dapat disimpulkan, bahwa dengan kedua sifat tersebut, yang diambil hikmahnya adalah bahwa segala karunia dan perhatian ( kasih sayang ) Allah hendaknya menjadi fokus perhatian utama dalam menjalani misi kehidupan, agar tidak mudah tergoda dan berpaling dari-Nya, sebab bila hidup ini yang dihadirkan hanyalah sisi ke-tidak nyaman-an atau bukan karunia, serta merasa menghadapi sendiri segala permasalahan atau merasa tidak disayang Allah, maka akan timbul godaan untuk berpaling kepada yang lain, padahal perbuatan semacam ini adalah ” syirik ” ( na’udzubillah ).

( 4 ) Berbunyi ” Maaliki Yaumid-diin ” artinya ” Pemilik/penguasa hari akhir/ kiamat ”

Ayat ini ditafsirkan dengan ” kepemilikan secara mutlak” akan ” akhir dari segala kehidupan dunia fana ini, dan menjadi gerbang untuk menuju alam berikutnya. Sehingga dengan kalimat ” pemilik/penguasa” bermakna: Allah-lah yang memiliki gerbang menuju ke alam akhirat, dan Dia pula yang menguasai segala akses menuju kesana. Dan sebagaimana kita ketahui, bahwa tidak seorang manusia atau makhlukpun yang dibiarkan hidup abadi selamanya di dunia yang bersifat fana ( sementara ) ini. Dan itu artinya bahwa ketika alam dunia ini telah digulung dan dinyatakan berakhir, dengan seruan sangkakala yang ditiup oleh Malaikat Isrofil, para makhluk termasuk manusia ” mau atau tidak mau, suka atau tidak suka ” dan secara dipaksa untuk meneruskan perjalanannya menuju alam akhirat. Dan tidak satupun yang bisa melawan kodrat ini, meskipun seluruh makhluk bersatu untuk merubahnya, namun hal itu tidak akan berhasil, sebab keputusan akhir dari kehidupan dunia ini merupakan hak prerogatif Allah yang tidak dapat diinterfensi dai campuri dan direkayasa.

Dalam hal tanda-tanda akan berakhirnya kehidupan bumi, atau kiamat hanyalah disebutkan sebagiannya saja, oleh Rasulullah saw.

Maka hikmah yang dapat dipetik dari ayat ini adalah :
1.      Kehidupan dunia ini pasti akan berakhir, maka orang yang cerdas yakni orang yang beriman tidak akan kepincut dengan gemerlapannya dunia, dia hanya memanfaatkan dunia hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan selama hidup yang tidak terlalu lama ( 60 – 100 tahun atau lebih sedikit ). Dan justru orang mukmin hanya terfokus untuk menyiapkan perbekalan kehidupan di akherat yang maha abadi dan selamanya. Yakni dengan memurnikan serta mengokohkan aqidah dan keimanan yang ada di hati sanubari, serta secara istiqomah dan tumakninah menjalankan syariat Islam secara murni dan konsekwen, serta senantiasa menggali dan melakoni hikmah dari perjalan spiritual hati dan raganya itu dalam bentuk ” perilaku sholeh ” yakni sikap dan sifat yang senantiasa dirindukan oleh para makhluk Allah dan memiliki akses amal baik yang dicatat oleh Roqib.
2.      Dengan memahami bahwa tidak ada gerbang lain untuk menuju akherat, dan tidak ada penguasa dan pemilik gerbang itu kecuali Allah swt, maka hikmahnya adalah, sejak di dunia telah mulai membangun akses yang kokoh dengan Allah, yakni menjalankan segala perintah dan menjauhi segala apa yang dilarang, sehingga ia dapat dengan mulus melewati gerbang itu karena sudah memiliki kedekatan dengan Maha Pengusa-nya. Dan tentu kunci-kunci untuk membuka gerbang akherat itu tidak terdapat di dalam hal-hal yang dimurkai Allah, tapi tentunya berada di dalam hal-hal yang disukai-Nya, atau dalam istilah lain adalah mencari kunci gerbang akherat di sumber-sumber hidayah, dan sumber hidayah itu terdapat di dalam : Bait Allah ( masjid ), Al-Qur’anul Karim, Halaqoh, Majelis Taklim, orang-orang mukmin dan segala apa saja dan di mana saja yang dipakai untuk ” dzikir ” kepada Allah.
3.      Dengan meyakini bahwa Allah adalah ” Maaliki Yaumiddin ” dan menyadari betapa terbatasnya waktu dan umur, maka hikmahnya adalah hendaknya setiap orang mukmin memanfaatkan waktu semaksimal mungkin untuk dapat mencari kunci gerbang akherat sebaik-baiknya, dan dapat mengumpulkan bekal hidup di akherat sebanyak-banyaknya.... dan inilah orientasi ketiga, yakni  setelah (1) Tawakkal, (2) Syukur, maka ke (3) nya adalah sabar, yakni sabar dalam menjalankan perintah, dalam menjauhi larangan dan sabar dalam ketaan kepada Allah.
Walloohu a’lamu bish-showaab


Surah al-Fatihah


Tafsir : Surah Al-Fatihah

a. Prolog
Disebut dengan " Al-Fatihah " karena posisinya sebagai " pembuka " dari 144 surah yang ada dalam Al-Qur'an, dan ulama ada yang berpendapat : karena Al-Fatihah membuka bacaan dalam sholat ( Al-Musnad ).
Nama lain dari surah ini adalah : (a) Ummul Kitab, menurut Jumhur Ulama, (b) Ummul Qur'an, hadits shohih Tirmidzi (c) Sab-'ul Matsaani, yakni 7 ayat yang maknanya terdiri dari dua, antara Allah dan hambaNya ( manusia ), sebagaimana diterangkan dalam hadits dan di dalam Al-Qur'an Surah Al-Hijr: 87. Dan ada yang menyebut (d) Al-Hamdu, ( e ) Al-Qur'anu, atau bahkan (f) Ash-Sholatu [ dijelaskan dalam Tafsir Ibnu Katsir ].
Di dalamnya terdiri dari 25 kalimat dan 113 huruf, menurut Bukhori di awal kitab tafsirnya : disebut dengan " fatihah : karena (a) ditulis mengawali mush-haf al-Qur'an (b) dipakai mengawali bacaan di dalam sholat. Dan dijelaskan juga bahwa "al-Fatihah" mengandung makna kandunga al-Qur'an yang tersimpat di dalam surah tersebut. [ Wallohu a'lam ].

b. Basmalah
Basmalah adalah bacaan " Bismillaahir-rahmaanirrahiim ", dimana para ulama berbeda pendapat tentang : apakah basmalah termasuk dalam surah Al-Fatihah apa tidak?... menilik salah satu namanya, yakni "Sab-'ul Matsaani " yang berarti 7 ayat yang terbagi dua bagian, maka basmalah jelas termasuk dalam surah Fatihah, karena bila tidak termasuk maka " Fatihah " hanya terdiri dari 6 ayat, dan nama " sab'ul-Matsani" yang telah dijelaskan di dalam Hadits maupun Al-Qur'an ( al_Hijr:87 ) tidak dapat berlaku lagi. Dan menurut Imam Syafi'i, "basmalah" dibaca bil-jahri atau dengan bersuara pada surah al-Fatihah dan surah-surah lainnya. Dan para sahabat Nabi yang membaca basmalah dengan jahar adalah : Abu Huroiroh, Ibn Umar, Ibnu Abbas, Mu'awiyah,  dan menurut Baihaqi : khulafa-urrosyidun ( Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali r.a ) juga membaca dengan jahar.
Basmalah ini beberapa ulama sepakat bahwasanya ia adalah bagian dari surah An-Naml, yang dibakai mengawali membaca surah-surah dalam al_Qur'an  kecuali surah " Baro-ah/ at-Taubah ".
CBismillah= para ahli tafsir sepakat memaknainya dengan " aku memulai berbuat baik / beramal sholih dengan nama Allah " . hendaknya sebelum memulai setiap perbuatan baik selalu diawali dengan " basmalah ", karena fadhilahnya yang banyak dan agar dalam melaksanakan perbuatan tersebut selalu berada dalam pengawalan, naungan dan menuju Allah swt.
Maka dalam menjalankan syari'at hendaknya diawali dengan membaca basmalah agar mendapatkan berkah dari Allah, pengawalan, pertolongan untuk menyempurnakan amalan tersebut serta harapan untuk diterima Allah swt.

Dengan bacan basmalah ini, seorang hamba telah mengikrarkan dengan lisan dan dalan hati, bahwa apa yang akan ia kerjakan dari amalan syari'at dan amal sholih mutlak atas kehendak Allah, di mana bacaan ini mengandung dua sikap, yakni "ikhtiar"/usaha dan " tawakkal". Yaitu bahwa ia memulai pekerjaan/amal fisiknya yang merupakan bentuk usaha dan ihtiar, namun ucapan basmalah memberinya pondasi dalam hati untuk tawakkal kepada Allah, bahwa keberhasil dan kegagalan pekerjaan tersebut adalah hak prerogative Allah, sehingga dengan ucapan tersebut, seseorang telah memulai sesuatu pekerjaan dengan mengatas-namakan Allah dengan harapan agar menjadi pendorong saat melewati aral dan rintangan, dan menjadi "kendali" saat menemui kelancaran dan kesuksesan. Dan dengan basmalah tersebut, seseorang akan bersikap " sabar " saat ikhtiar/usaha yang dilakukan menghadapi kegagalan karena Allah, dan akan " bersyukur" saat menemui keberhasilan karena Allah. Ia tidak akan berani bermain-main dalam berbuat dengan mengatasnamakan Allah, sehingga dapat terbebas dari sifat " Hamm dan Huzn/ gundah gulana " saat gagal, dan terhindar dari sifat " takabbur/sombong" kala berhasil.

E Ar-Rahman- Ar-Rahiim = adalah dua kata benda yang berasal dari rahmah ( kasih sayang ) dalam bentuk yang sangat.

a. Ar-Rahman = termasuk salah satu dari Asma Allah yang terdiri dari 99 Asma-ul husna, yang menurut Ibnu Jarir, mempunyai arti yang lebih luas dari Ar-Rahim, karena mencakup " rahmah"nya Allah di dunia dan akherat dan meliputi seluruh makhluk tanpa pandang bulu dan membedakan, dengan arti lain bahwa Ar-Rahman adalah apabila diminta maka pasti akan memberi, yakni seluruh makhluk di dunia ini telah menerima karunia Allah tanpa membedakan posisinya sebagai mukmin ataupun sebagai non-mukmin, semuanya mendapatkan bagian karunia Allah dalam takaran yang telah ditentukan dengan standard yang hamper sama. Dari postur  tubuh, maka seorang manusia mukmin atau bukan, telah dikarunia mata, hidung, mulut dan anggota tubuh lain secara standar tanpa membeda-bedakan.
Hikmah Ar-Rahman bagi seorang mukmin adalah :
a.       Karunia Allah bagi orang mukmin tidak mutlak berdasarkan jumlah, tapi lebih banyak didasarkan pada sisi barokah

b.      Karunia yang diberikan kepada orang mukmin, selain sesuai dengan " nasib/bagian"nya juga hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di dunia, dan jangan sampai mengganggu konsentrasinya dalam beribadah kepada Allah, karena " kenikmatan dunia" itu sering menghijab dan menutupi seorang hamba dalam beribadah menyembah Allah dan dalam beramal sholih, karena dijadikan sarana penggoda yang jitu bagi syetan, agar jauh dari Allah. Maka karunia baginya hanyalah " TOMBO PINGIN ".
c.       Dalam mempergunakan nikmat karunia tersebut, hendaknya orang mukmin selalu bertanya dalam dirinya : " apakah dengan karunia itu, semakin mendekatkan dirinya kepada Allah, atau sebaliknya". Maka karunia yang barokah adalah " yang membuatnya semakin dekat kepada Allah" bukan sebaliknya
d.      Karunia merupakan bahan ujian bagi seorang mukmin : " Innamaa am-waalukum wa aulaadukum fitnah "( sesungguhnya harta benda dan anakmu adalah sumber fitnah/ujian bagimu ). Maka dalam menyikapi karunia tersebut Nabi Sulaiman as. Mengajarkan kepada kita " a asykur am ak-fur " ( apakah aku akan menjadi hamba yang bersyukur ( nikmat )  atau menjadi hamba yang kufur- nikmat ? )
         Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebuah pengertian sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, bahwa sifat “ Ar-Rahman “ meruakan salah satu sifat Allah yang bersifat umum dan lebih luas dari “ Ar_rahim “.

B. Ar-Rahim =  dalam bahasa Indonesia adalah “ Maha Penyayang “, dan sesuai dengan penafsiran  para ulama salaf adalah sifat dan isim diantara asmaul husnanya Allah yang hanya ditujukan kepada “ khusus orang mukmin dan muslim “ dan akan dicurahkan bentuk sayang tersebut hanya di “alam akhirat “ dengan segala puncak kenikmatan yang disebut dengan “ nikmat surgawi “.

Hakekat dari asma Allah ini adalah pengokohan keyakinan dan iman dalam hati bahwa segala bentuk ibadah kita hendaknya tidak diorientasikan kepada yang lain ( makhluk ) lain, agar dapat merasakan kedahsyatan “ rahim”nya Allah di alam berikut. Dan dapat menjadi motivasi bagi orang yang beriaman untuk senantiasa focus dalam ibadah dan pengabdian, dengan senantiasa mengabaikan panggilan nafsu yang selalu “hendak” menjegal manusia agar tidak dapat merasakan “ rahim”nya Allah.
Secara syar’i…. amat baek berdoa kepada Allah dengan lafadz “ Yaa Rahiim “ selain dapat dijadikan dzikir jahri dan sirri ( bersuara atau dengan hati )…